EMPAT ORANG YANG DILAKNAT NABI
عنْ عَلِي بن أَبِيْ طَالِبٍ –رضي الله عنه – قال : قَالَ رَسُوْلُ ﷺ اللهِ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ، وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ سَبَّ وَالِدَيْهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الأَرْضِ، لَعَنَ اللَّهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا
Dari ‘Ali bin Abi Thalibz, Rasulullah ﷺ bersabda : Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya. Allah melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain), dan Allah melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan perkara baru dalam agama (bid’ah).
TAKHRIJ HADITS
– HR Bukhari di Adabul Mufrad, bab (8) man la’ana Allah man la’ana walidaih, no. 17.
– Muslim, dalam Shahih Muslim, kitab al adhahi, no. 3657, 3658, 3659.
– An Nasa-i, dalam as Sunan, kitab adh dhahaya, no. 4346, dan
– Ahmad di berbagai tempat dalam Musnad-nya.1
SYARAH HADITS
Di antara nikmat Allah yang terbesar dan anugerahNya yang paling agung, yaitu dijadikannya kita sebagai kaum Muslimin dan kaum Mukminin yang hanya beribadah kepadaNya, dan yang hanya mengikuti NabiNya ﷺ , serta menjadi pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Islam adalah agama yang mulia, tegak di atas al Qur‘an dan Sunnah.
Allah berfirman dalam al Qur‘an :
﴿ وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ ﴾
Dan Kami turunkan kepadamu al Qur‘an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, (QS an Nahl : 44).
Al Qur‘an adalah dzikr, dan Sunnah adalah dzikr, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi ﷺ : “Ketahuilah, bahwa aku telah diberi al Qur‘an dan yang semisal dengannya”.
Al Qur‘an adalah Kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi ﷺ yang merupakan mukjizat, dan membacanya terhitung sebagai suatu ibadah. Demikian pula Sunnah (hadits) Nabi ﷺ adalah wahyu Allahl, seperti yang telah Dia firmankan :
﴿ وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى – اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ ﴾
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al Qur‘an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS an Najm : 3-4).
Dan sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Amru bin ‘Ash رضي الله عنه , bahwasanya dia pernah datang kepada Rasulullah ﷺ sambil bertanya : “Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya, Anda terkadang berkata dalam keadaan marah dan terkadang dalam keadaan ridha. Apakah boleh kita menulis semua yang Anda katakan?” Maka Nabi ﷺ menjawab,”Tulis semuanya, demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, tidaklah yang keluar dariku melainkan haq (benar),” sambil menunjuk ke arah mulut beliau yang suci.
Hadits Nabi ﷺ adalah tafsir bagi ayat-ayat yang global dalam al Qur‘an dan pengkhusus bagi ayat-ayat yang umum, serta pengikat bagi ayat-ayat yang mutlak, dan dia adalah wahyu Allah Ta’ala. Di antara wahyu tersebut adalah diberinya Nabi ﷺ jawaami’ul kalim, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim, Pent), beliau bersabda : “Aku diutus dengan jawaami’ul kalim”. Arti jawaami’ul kalim adalah ucapan singkat, tetapi padat maknanya.
Di antara jawaami’ul kalim tersebut adalah hadits Nabi ﷺ yang merupakan pembahasan kita sekarang yang tercantum dalam Shahih Muslim, dari seorang sahabat yang mulia dan seorang khalifah yang mendapat petunjuk, yaitu Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه , bahwasanya Nabi bersabda :
لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ، وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ سَبَّ وَالِدَيْهِ، وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الأَرْضِ، لَعَنَ اللَّهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا
Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya. Allah melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain), dan Allah melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan perkara baru dalam agama (bid’ah).
Hadits ini amat singkat, namun mengandung banyak perkara yang berharga, karena menjelaskan hak-hak yang agung, yang menjadi landasan sosial masyarakat muslim. Jika kaum Muslimin telah mengalami kemunduran, maka dengan mewujudkan hak-hak ini, mereka akan kembali menjadi umat yang maju di tengah umat-umat yang lain.
Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak ibadah, hak sunnah, hak nafs (jiwa), dan hak orang lain. Jika kita mau merenungi keempat hak-hak di atas, maka kita akan mendapatkan hal tersebut telah mencakup semua hak muslim, baik yang berkaitan dengan dirinya, orang lain, dan yang berkaitan dengan Rabb-nya serta NabiNya ﷺ .
Hak ibadah adalah tauhid yang dijelaskan oleh Nabi ﷺ dalam sabda beliau “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah”. Bagaimana dia bisa mengarahkan sembelihan kepada selain Allah? Sedangkan tindakan tersebut termasuk ibadah. Dan ibadah adalah sebuah nama yang mencakup hal-hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah عزوجل , baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang batin, sebagaimana yang telah Allah k firmankan :
﴿ قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ – لَا شَرِيْكَ لَهٗ ۚ وَبِذٰلِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ ﴾
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku (sesembelihanku), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS al An’am : 162-163).
Menjaga hak tauhid dan ibadah, adalah kewajiban yang harus ditanamkan di dalam hati dan akal pikiran, lalu diwujudkan dalam amal perbuatan dengan penuh keyakinan, tanpa ada sedikit pun keraguan. Bagaimana tidak demikian, sedangkan kita tidaklah diciptakan, melainkan hanya untuk beribadah kepadaNya saja, sebagaimana firman Allah k :
﴿ وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ – مَآ اُرِيْدُ مِنْهُمْ مِّنْ رِّزْقٍ وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ يُّطْعِمُوْنِ – اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ ﴾
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka, dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (QS adz Dzariyaat : 56-58).
Nabi ﷺ sudah mengajarkan kepada sahabat-sahabat beliau yang masih kecil, apalagi kepada yang dewasa tentang hak ibadah ini agar ditanamkan dalam hati, dan tumbuh di dalam akal pikiran serta anggota badan.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas –sepupu Nabi – bahwasanya Nabi ﷺ berkata kepadanya : “Wahai, anak kecil. Aku ingin mengajarkan kepadamubeberapa perkara. (Yaitu) jagalah Allah, maka pasti Allah menjagamu. Jagalah Allah, pasti engkau akan mendapatiNya di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan jika engkau memohon pertolongan, mintalah kepada Allah”.
Maka, tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Allah. Tidak ada yang berhak dimintai pertolongan melainkan Allah. Tidak ada yang berhak dijadikan sumpah melainkan Allah. Dan tidak ada yang berhak diistighasahi, melainkan Allah. Tidak ada yang berhak diserahi sesembelihan dan nadzar, melainkan Allah. Tidak boleh bernadzar kepada Nabi, wali maupun siapa saja, meskipun memilih kedudukan yang tinggi. Dengan ini, (seorang muslim) bisa menjaga hak ibadah dan tauhidnya.
Kemudian Nabi ﷺ bersabda : “Allah melaknat orang yang melindungi muhditsan”.
Al muhdits, adalah orang yang mengada-adakan hal baru dalam agama (bid’ah) dan yang merubah Sunnah Nabi ﷺ . Dalam hal ini, terdapat pemeliharaan terhadap hak Sunnah dan ittiba’ (mengikuti Nabi r). Ketika kita mengikrarkan kalimat tauhid Laa ilaha illallah Muhammaddur Rasulullah. Maka, ucapan ini mengandung hak-hak, kewajiban-kewajiban serta konsekuensi-konsekuensi. Dan kalimat tersebut, bukan hanya sekedar huruf-huruf yang dirangkai, atau ucapan yang terlepas begitu saja dari lisan. Tetapi, dengan kalimat inilah berdiri langit dan bumi. Tidak diciptakan manusia, melainkan untuk mewujudkan kandungan kalimat tersebut. Dan tidaklah diturunkan kitab-kitab Allah serta diutus para rasul, melainkan karenanya.
Kalimat Laa ilaha illallahu, maknanya tidak ada yang berhak disembah dengan benar, kecuali Allah. Dan kalimat Muhammadur Rasulullah, maknanya tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Rasulullah. Sebaik-baiknya perkara adalah apa yang disunnahkannya. Dan sejelek-jeleknya perkara adalah apa yang beliau tinggalkan (bid’ah, Pent). Tidaklah beliau meninggal dunia, melainkan beliau telah menjelaskan segala kebaikan kepada kita dan melarang dari segala kejelekan.
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dari sahabat Abu Dzar al Ghifari ﷺ bahwasanya dia berkata : “Tidaklah Nabi ﷺ meninggal dunia, melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kita, sampai-sampai burung yang terbang di udara telah beliau jelaskan kepada kita ilmunya”.
Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak Sunnah yaitu hak Nabi ﷺ. Tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Nabi ﷺ . Beliaulah suri tauladan yang baik danyang sempurna bagi kita; bagaimana tidak, sedangkan Allah telah berfirman tentang beliau :
﴿ لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ ﴾
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS al Ahzab : 21).
Allah عزوجل telah menjelaskan, bahwa satu-satunya jalan petunjuk, yang seorang hamba selalu memohonnya lebih dari sepuluh kali sehari semalam di kala shalat fardhu, sunnah maupun nafilah, yaitu اِهْدِنَا الصِّرَاطَ المُسْتَقِيْمِ (Tunjukilah kami jalan yang lurus), adalah dengan mengikuti sunnah Rasul ﷺ . Tidak ada jalan yang lurus melainkan dengan mengikuti Sunnah beliau ﷺ , sebagaimana yang telah Allah firmankan
﴿ وَاِنْ تُطِيْعُوْهُ تَهْتَدُوْاۗ ﴾
(Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. –QS an Nuur : 54). Apabila kalian mengikuti Nabi ﷺ , maka kalian akan mendapat hidayah yang selalu kalian minta kepada Rabb kalian dikala siang dan petang hari. Inilah hak Allah, dan inilah hak RasulNya ﷺ serta hak agamaNya. Maka apakah kita telah menjalankan semua hak-hak ini?
Di bagian yang lain dari hadits ini terdapat peringatan adanya dua kewajiban lain.
Yang pertama, yang merupakan urutan kedua dari hadits di atas, yaitu sabda beliau ﷺ : “Allah melaknat orang yang mencela kedua orang tuanya”. Ini adalah kewajibanmu dan anda mesti menjadi pemeliharanya dengan baik. Yaitu engkau berbakti kepada keduanya, mendoakan mereka dan menjaga hak-hak mereka, tidak meremehkannya serta tidak menjadi penyebab engkau mencaci kedua orang tuamu.
Hak kedua orang tua, terkadang bisa secara langsung disia-siakan oleh anak yang durhaka, yaitu dengan mencaci-maki ayah atau ibunya karena mencari ridha sang istri, hawa nafsu maupun setannya. Dan sangat disesalkan, hal ini terjadi (di tengah masyarakat kita, Pent).
Adapun yang kedua, secara tidak langsung, yaitu engkau berbuat sesuatu yang menyebabkan orang lain mencaci-maki kedua orang tuamu. Nabi ﷺ pernah bersabda : “Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci-maki kedua orang tuanya,” para sahabat bertanya,”Bagaimana seseorang bisa mencaci-maki kedua orang tuanya?” maka beliau ﷺ menjawab : “Dia mencaci-maki ayah orang lain, lalu orang lain itu mencaci maki kembali orang tuanya”. Dan ini (termasuk) di antara arah tujuan syariat, yaitu menutup segala pintu (kejelekan) serta membendung kerusakan. Engkau tidak boleh berbuat suatu yang mengakibatkan kerusakan yang besar di kemudian hari. Tetapi amat disayangkan, perkara ini secara global banyak disepelekan oleh sebagian kaum Muslimin, bahkan oleh Islamiyyin (orang-orang yang bersemangat membela Islam tanpa bekal ilmu yang benar, Pent). Kita melihat, mereka bersemangat dalam banyak perkara dan banyak berbuat sesuatu, dan mereka mengira hal tersebut sebagai suatu bentuk hidayah dan kebenaran, namun hakikatnya tidak seperti itu.2 Mereka melakukan dengan semangat membara, yang mengakibatkan umat Islam menjadi santapan lezat bagi umat-umat yang lain, dan menjadikan orang-orang kafir menguasai kaum Muslimin dan merampas harta kekayaan mereka.
Ini termasuk menutup segala pintu kejelekan. Rasulullah ﷺ ketika melarang kita mencaci-maki orang tua, sebuah tindakan yang termasuk dosa, maka bagaimana jika kita melakukannya lebih dari itu? Yaitu mencaci-maki orang tua orang lain, lalu orang tersebut mencaci-maki kedua orang tua kita? Ini termasuk dosa besar. Jika kita melaksanakan ketaatan kepada mereka maka ini termasuk menjaga hak jiwa pribadi (nafs) . Adapun meremehkan dan menyia-nyiakan mereka, maka akibat buruknya akan menimpa dirinya sendiri. Allah عزوجل berfirman,:
﴿۞ وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ ﴾
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS.Al-Isro’ : 23)
Di dalam ayat ini Allah menyatukan antara ketaatan kepada kedua orang tua dengan ibadah hanya kepada-Nya saja, karena didalamnya terdapat unsur pemeliharaan terhadap hak jiwa sendiri, ayah dan anak.
Adapun hak yang terakhir yang disebutkan dalam hadits ini adalah yang berkaitan dengan hak orang lain.
Nabi ﷺ menjelaskan dalam hadits ini empat hak yaitu :
- Hak Allah
- Hak Nabi
- Hak nafs
- Hak orang lain.
Nabi ﷺ bersabda : “Allah melaknat orang yang merubah tanda batas tanah orang lain” maksudnya dia melanggar hak (tanah) orang lain baik itu tetangganya, kerabat, saudaranya ataupun orang yang jauh darinya. Barangsiapa yang melanggar hak orang lain meski kelihatannya sepele, niscaya akan terkena ancaman dalam hadits ini. Jika melanggar hak tanah orang lain saja yang berkaitan dengan masalah dunia mengakibatkan terlaknat, maka bagaimana kalau pelanggaran tersebut berkaitan dengan hak yang lebih besar dari itu seperti melanggar kehormatan atau kemuliaan orang lain dengan menggunjingnya, mengadu domba, berdusta atas namanya ?
Renungilah sabda Rasul ﷺ :
إِنَّ أَرْبَى الرِّبَا اِسْتِطَالَة الرَجُلِ فِيْ عِرْضِ أَخِيْهِ المُسْلِم
Artinya : “Dosa riba yang paling besar adalah seseorang melanggar kehormatan saudaranya muslim” yaitu dengan menggunjingnya, berdusta atas namanya, berburuk sangka kepadanya atau dengan mengadu domba antara dia dengan orang lain. Semua ini terlarang dan merupakan sebab perampasan hak orang lain dan termasuk dosa besar.
Jika kita mengetahui sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi ﷺ : “Satu dirham (hasil) riba yang dimakan oleh seseorang yang tahu (hukum-nya pent) lebih besar dosanya di sisi Allah dari pada 36 kedustaan” Apabila ini tingkat paling rendah akibat harta riba, maka bagaimana dengan riba yang paling besar ? Ini semua dalam rangka menjaga hak-hak orang lain baik kerabat maupun orang yang jauh. Nabi ﷺ ketika berpesan kepada Mu’adz bin Jabal, beliau bersabda : “Dan pergauli manusia dengan akhlak yang baik”
Nabi ﷺ tidak mengatakan (pergaulilah) orang-orang mukmin atau muslimin atau yang berpuasa saja atau orang-orang shalih atau shadiqin saja, tapi beliau malah mengatakan (pergaulilah manusia) maksudnya semua manusia baik dia mukmin atau kafir, shaleh atau tholeh. Karena dengan akhlakmu disertai pemeliharaan terhadap hakmu dan hak orang lain, engkau dapat mengambil hati mereka sehingga engkau bisa menyerunya (kepada kebenaran).3
Footnote:
1) Takhrij ini merupakan tambahan dari Redaksi.
2) Hal ini seperti yang dilakukan oleh harokiyyin yang selalu semangat dalam mengobarkan api jihad melawan orang-orang kafir dengan melakukan peledakan-peledakan atau pembantaian warga sipil. Mereka kira, dengan semua itu dapat memuliakan Islam dan kaum Muslimin, padahal jika mereka mau merenungi kembali, justru mereka telah menyebabkan kaum Muslimin semakin ditindas dan mencoreng nama Islam. Sungguh benar yang Allah firmankan tentang mereka ini :
﴿ قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالًا ۗ – اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا ﴾
Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya”. -QS al Kahfi : 103-104. (Redaksi)
3) Kemudian khutbah ini beliau tutup dengan doa. (Redaksi).
Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M
Artikel asli: https://majalahassunnah.net/artikel/empat-orang-yang-dilaknat-nabi/